Cerita Abu Kuta

Abu Kuta Krueng

Kisah Abu Kuta Krueng dan Kelapa Tua yang Hanyut Diseret Banjir

Teungku H Usman Ali atau lebih dikenal dengan Abu Kuta Krueng berpulang ke rahmatullah pada Kamis, 13 Februari 2025 di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh, usai menjalani perawatan intensif.

Beberapa pekan sebelumnya, Line1.News melihat video Abu sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Singapura. Kemungkinan, setelah dirawat di sana, Abu telah sembuh dan dibawa pulang ke Aceh, tepatnya ke Dayah Al Munawarah Kuta Kreung di Pidie Jaya, yang beliau asuh. Lalu, sesudahnya Abu kembali harus menjalani perawatan di Banda Aceh.

Semasa hidupnya, Abu Kuta Krueng dikenal sebagai ulama tasawuf. Banyak orang datang menimba ilmu padanya atau menanyakan persoalan sehari-hari terkait hukum Islam.

Beberapa referensi menyebutkan, Abu Kuta Krueng lahir pada 31 Desember 1940 di Uleegle. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Rakyat atau SR, Abu diantar orang tuanya masuk ke Dayah Maโ€™hadal Ulum Diniyyah Islamyyah (MUDI) Mesra Samalanga di Bireuen.

Di MUDI, Abu Kuta Krueng mengaji langsung kepada Allahuyarham Teungku H Abdul Aziz bin M Shaleh yang akrab disapa Abon Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga.

Kisah ini diungkap Allahuyarham Teungku H Muhammad Yusuf A Wahab atau Tu Sop Jeunieb dalam sebuah pengajian semasa hidupnya. “Termasuk guru Abu Kuta, Abu [Muhammad] Kasem TB,” ujar Tu Sop dalam sebuah video di Facebook.

Abu Muhammad Kasem TB yang dimaksud Tu Sop dikenal juga dengan sapaan Abu Di Bireuen. Ulama ini lahir di Lama Inong, Susoh, Aceh Barat Daya. Semasa Abon Aziz mengasuh Dayah MUDI, Abu Kasem diminta mengajar di sana, sehingga Abu Usman Kuta Krueng bisa menimba ilmu darinya.

Tu Sop mengatakan suatu waktu Abon Aziz menceritakan kepada para santri termasuk dirinya tentang kelebihan Abu Kuta Krueng.

Abon Aziz, kata Tu Sop, tak menyangka Abu Kuta Krueng bisa menjadi sosok yang alim selepas dari Dayah MUDI. “Akhlak Abu Kuta sangat baik, ibadat tetap [istiqamah], saba leupah saba,” ujar Tu Sop.

Saat nyantri di MUDI, kata Tu Sop, Abu Kuta sering tak punya uang. Namun dengan keterbatasan ekonomi keluarganya, Abu tetap bertahan dan menempa dirinya menjadi santri yang ulet.

Untuk menghidupi dirinya di dayah, Abu sering tueng upah memotong padi di sawah milik warga sekitar Samalanga. Dari sini, karena kemuliaan akhlaknya pula, Abu memiliki banyak orang tua angkat di wilayah itu. Setelah mendapatkan upah dari pekerjaannya itu, Abu Kuta kembali ke dayah untuk mengaji.

Di MUDI, Abu tumbuh menjadi santri yang selalu menghormati gurunya, hingga ilmu yang beliau peroleh pun mengandung keberkatan. Sebab, dalam keyakinan anak dayah memuliakan dan menghormati guru sebuah keniscyaan keberkatan ilmu.

Abu Kuta, kata Tu Sop, sangat menjaga kehormatan gurunya. Bahkan, Abu Kuta sangat tersiksa batinnya bila ia salah ucap dengan Abon Aziz dan guru-gurunya yang lain. “Abu pernah menangis karena ia merasa tidak berbicara dengan santun kepada Abon,” ungkap Tu Sop.

Dua Butir Kelapa Tua Bekal di Dayah

Kegigihan Abu Kuta saat nyantri juga diceritakan Teungku Muhammad Yusuf atau akrab disapa Abiya Jeunib, Pimpinan Dayah Rauhul Mudi, Jeunieb, Bireuen.

Abiya mendengar kisah ini langsung dari Abu Kuta saat ia mengaji di Kuta Krueng. Ceritanya, Abu Kuta saat pergi mengaji ke Dayah MUDI kerap melewati jalan yang membentang di tengah persawahan antara Kuta Krueng dan Mideun Jok, Samalanga.

Hari Kamis, Abu meminta izin pada Abon Aziz, hendak pulang ke rumahnya di Kuta Krueng untuk mengambil stok beras yang sudah habis. Sebulan, Abu Kuta Krueng hanya diberikan jatah dua aree beras oleh orang tuanya.

Di bilik dayah, Abu Kuta memasak sendiri dengan satu-satunya periuk miliknya. Tidak ada lauk pauk seperti kuah maupun ikan. “Lauk pauk pengganti ikan yang Abu makan adalah u riek (kelapa tua),” ujar Abiya seperti dikutip dari YouTube Galeri Santri Aceh.

Setibanya di Kuta Krueng, malam Jumat hujan turun dengan lebatnya. Esok hari selepas Jumat, Abu pamit pada orang tuanya hendak kembali ke dayah. Selain beras dua aree, Abu juga dibekali orang tuanya dua butir kelapa tua.

Beras itu kemudian dijinjing sedangkan dua butir kelapa tua itu dipanggul di bahunya. Setibanya di sebuah sungai kecil (lueng) di tengah sawah, Abu melihat air telah meluap.

Jembatan bambu yang ia lewati kemarin masih ada dan terikat pada pokok kayu. Mengira jembatan bambu masih pada posisinya, Abu pun melewatinya. Tak disangka, ternyata jembatan itu telah terangkat oleh air. Begitu Abu menaiki jembatan, ia pun terjatuh ke dalam lueng. Tak hanya pakaiannya yang basah, beras yang dibawa ikut lenyap diseret arus.

Abu Kuta kemudian berenang ke tepi. Ia melihat ke kampung dan ke arah Samalanga. Posisinya di tengah-tengah.

Saat itu, kata Abiya, Abu tak mungkin kembali ke kampung untuk mengambil beras yang lain karena itulah satu-satunya jatah beras bulan itu.

Sementara untuk kembali ke dayah, beras sebagai bekal juga tak ada. “Harapan yang tersisa cuma pada dua butir kelapa tua tadi,” ungkap Abiya.

Maka, Abu pun menyusuri aliran lueng itu ke arah laut, berharap bisa menemukan kembali kelapa miliknya. Setelah menyusuri agak jauh, harapan Abu terkabul ketika melihat dua butir kelapa tua miliknya tersangkut di sebuah pagar.

Kelapa itu kemudian dibawa ke dayah dan selama sebulan Abu terpaksa meminjam beras dari santri lain.

“Di dayah Abu sering berpuasa sunat karena duit tidak ada. Beras yang dimasak cuma segenggam, lalu dimakan dengan kelapa tua tadi yang dicongkel sedikit demi sedikit lalu disimpan lagi untuk hari-hari berikutnya,” ujar Abiya.

“Kelapa tua itulah yang jadi ikan sekaligus kuah,” imbuhnya.

Abu Kuta Krueng melakoni hal itu selama lima tahun menimba ilmu di Dayah MUDI. Saksinya adalah Allahuyarham Abu Majid Samalanga, yang waktu itu teman sebilik Abu Kuta Krueng.

Abu Majid juga kerap mengulang-ngulang kisah Abu Kuta saat menasehati para santri dan dewan guru. Bahwa, para santri yang bersabar dalam penderitaan saat menuntut ilmu, kelak memperoleh kemenangan.[]

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)